Saturday, 27 June 2009

Macapat Kiat Angkat Bahasa Jawa

Oleh T Sunu W

Gema keprihatinan atas nasib bahasa Jawa terus terdengar, bahkan makin gencar. Banyak usulan untuk melestarikan dan mengembangkan bahasa Jawa, khususnya, dan budaya Jawa, umumnya, pada masa mendatang. Tidak kepalang tanggung, ada yang mengusulkan diterbitkannya peraturan daerah untuk menjaga bahasa Jawa agar tak luntur dan kendur.

Langkah-langkah nyata telah dilakukan, antara lain oleh Dinas Pendidikan Provinsi DI Yogyakarta dan Jawa Tengah. Kebijakan tersebut, antara lain dengan memasukkan mata pelajaran Bahasa Jawa ke dalam kurikulum sekolah. Mata pelajaran Bahasa Jawa menjadi muatan lokal pada jenjang SD sampai SMA.

Dengan mempelajari bahasa Jawa, diharapkan peserta didik pun sedikit-sedikit juga mempelajari budaya Jawa. Misalnya tata krama dalam berbahasa: ngoko (bahasa kasar) dan krama (bahasa Jawa halus). Dengan demikian, bila berbicara dapat empan papan, tahu tempatnya, kapan bisa ngoko, kapan harus krama.

Namun, kita tahu kalau peserta didik dijejali dengan teori bahasa Jawa, mereka akan kewowogen, merasa berat, dan merasa tidak mampu. Karenanya, pengajaran bahasa Jawa pun harus menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi peserta didik. Harus ada perbedaan perlakuan antara peserta didik yang berbahasa ibu bahasa Jawa dan peserta didik yang berbahasa ibu non-bahasa Jawa.

Banyak cara untuk memperkenalkan bahasa Jawa. Contohnya dalam pendidikan di sekolah, pelajaran bahasa Jawa mencakup empat keterampilan berbahasa, yaitu membaca, menyimak, menulis, dan berbicara. Keempat keterampilan itu hendaknya merasuk dalam diri peserta didik yang mengikuti mata pelajaran Bahasa Jawa.

Salah satu materi yang menurut penulis tepat adalah tembang macapat. Ya, macapat merupakan kiat tepat untuk mengangkat martabat bahasa Jawa. Mengapa? Karena macapat mencakup berbagai keterampilan berbahasa sekaligus. Pertama, membaca, mendengarkan tembang yang dinyanyikan, menulis cakepan macapat, dan berbicara (dengan menyanyikannya).

Macapat juga mempunyai keunikan tersendiri. Pertama, dia merupakan gabungan dari seni sastra dan seni musik (Jawa). Kehalusan budi dan rasa akan makin terasah kalau kita mendengarkan tembang macapat.

Apalagi, tembang macapat mempunyai banyak jenis. Kita mengenal, antara lain Mijil, Sinom, Asmaradhana, Dhandhanggula, Maskumambang, dan Pangkur. Tiap tembang menunjukkan ciri khasnya. Misalnya, Mijil untuk melukiskan suasana kelahiran manusia, Sinom menggambarkan ketika manusia menjadi muda. Ringkasnya, tembang macapat mencakup siklus kehidupan manusia.

Dalam tembang macapat pun, umumnya, terkandung pitutur luhur yang adiluhung. Sebut saja serat Wulangreh, karya Paku Buwana IV dan serat Wedhatama gubahan KGPAA Mangkunegara IV. Kedua serat tersebut memuat ajaran luhur yang ditulis dalam cakepan macapat. Bahkan, Romo Sindhunata dan Suwandi menggubah Injil, bagian kitab suci orang Kristiani dalam macapat, terbit dengan judul Injil Papat.

Macapat bila dibaca terasa indah. Apalagi bila ditembangkan, dia mengajak pendengarnya masuk ke suasana meditatif dan perenungan yang mendalam. Pasalnya, macapat merupakan karya musik Jawa yang "melodi"-nya, kalaulah boleh disebut begitu berirama bebas. Tanpa tanda birama. Hal ini setara dengan musik Gregorian dalam tradisi Katolik dan pembacaan ayat-ayat Al Quran dalam tradisi Muslim (umpamanya dalam Musabaqah Tilawatil Quran).

Adapun dari segi menulis, dengan memerhatikan guru lagu dan guru wilangan. Guru lagu merupakan "aturan" bunyi vokal pada suku kata terakhir dari baris, misalnya huruf (i), bisa berupa wani atau paring.

Sementara itu, guru wilangan menunjukkan jumlah suku kata dalam tiap gatra (baris) dari tiap tembang macapat.

Sebagai contoh, tembang Maskumambang berikut ini: Gereng-gereng Gathutkaca sru anangis/ ngulati arinya/ kang wus kelem jroning warih/ sakedhap-kedhap Guritno. Bisa kita formulasikan 12 i - 6 a - 8 i, 8 a. Baris pertama terdiri dari 12 suku kata yang berakhir dengan "I", baris kedua 6 suku kata yang berakhir dengan "a", baris ketiga 8 suku kata berakhir dengan "i", baris keempat 8 suku kata berakhir dengan "a", Catatan, Guritno, kalau diucapkan menjadi guritna (nglegena), maka dia berakhir bukan dengan "o" melainkan "a".

Dapat ditembangkan

Nah, dengan mengacu pada guru lagu dan guru wilangan dari tiap jenis tembang, kita pun dapat membuat cakepan macapat. Apa pun jenisnya, asal memenuhi guru lagu dan guru wilangan, dia dapat ditembangkan. Ini akan melatih kita untuk memperbanyak kosakata dan soal pilihan kata yang bernas, singkat, tetapi bermakna. Berarti macapat bisa dijadikan sarana melatih keterampilan menulis.

Sedangkan untuk keterampilan berbicara, lewat tembang macapat bahkan menjadi lebih intensif karena cara kita berbicara dengan ditembangkan. Kita bisa belajar macapat dari berbagai sumber. Lewat rekaman audio atau video. Bisa pula lewat kursus macapat. Setidaknya di Keraton Yogyakarta ada lembaga kursus tembang macapat, Lembaga Javanologi pun menggelar kursus macapat, begitu pula Yayasan Bebana Kasihan Bantul, mengadakan kursus macapat. Bisa pula kita berguru kepada para sinden, wiraswara, atau dalang. Pokoknya banyak sumber yang bisa kita jadikan sarana/wahana belajar tembang macapat.

Ya, macapat merupakan kiat tepat untuk mengangkat martabat budaya Jawa. Karena mencakap empat keterampilan berbahasa sekaligus. Meski untuk mempelajari macapat tak segampang membalik telapak tangan, kita hendaknya tak surut. Patah semangat sebelum mencobanya.

Semuanya kembali kepada kita para pemerhati budaya Jawa, siapa pun dia, guru, ilmuwan, pandhemen, ataupun awam. Akankah kita diam membisu, tak berbuat apa-apa melihat nasib bahasa Jawa yang mengkhawatirkan. Relakah kita melihat bahasa Jawa hilang ditelan zaman. Relakah kita menyaksikan bahasa Jawa tergusur oleh bahasa asing.

Marilah kita melakukan gerakan dan membuat gebrakan, di antaranya dengan memasyarakatkan macapat. Sebuah langkah kecil harus diayunkan untuk mencapai langkah keseribu, bukannya mengambil langkah seribu alias lari dari tanggung jawab kita sebagai pemerhati bahasa Jawa.

T Sunu W Mahasiswa Non-reguler Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

0 comments: